Manusia adalah
satu-satunya makhluk yang bisa menjadi subyek dan obyek sekaligus. Menusia berfikir dan
merenung, kemudian menjadikan dirinya
sebagai obyek fikiran dan renungan.. Manusia sangat menarik di mata manusia itu sendiri. Terkadang manusia
dipuja, tetapi di kala yang lain ia
dihujat. Secara internal manusia sering merasa bangga dan bahagia menjadi manusia, tetapi di mata orang
lain atau di waktu yang lain, ia
terkadang menyesali diri sendiri, menyesali keberadaannya sebagai manusia.
Ada manusia yang
perilakunya berada di luar batas perikemanusiaan, tetapi ada juga manusia yang begitu tinggi
tingkat kemanusiaannya sehingga ia
disebut sebagai "manusia suci". Pada umumnya manusia tertarik untuk bertanya tentang dirinya
ketika berada dalam puncak- puncak kebahagiaan, kesedihan, ketakutan,
keberhasilan dan puncak kegagalan. Ada
kesepakatan pandangan, bahwa betapapun manusia terdiri dari jiwa dan raga, tetapi penilaian tentang
kualitas manusia terfokus pada jiwanya,
terkadang disebut hatinya, karena hakikat manusia adalah jiwanya..
Dalam sejarah keilmuan,
lahirnya filsafat, antropologi, psikologi,
ekonomi dan politik sesungguhnya juga merupakan upaya mencari
jawaban tentang manusia, tetapi khusus
tentang jiwa manusia, ia dibahas oleh filsafat,
psikologi dan agama.
Psikologi sebagai
disiplin ilmu baru lahir pada akhir abad 18 Masehi, tetapi akarnya telah menghunjam jauh ke dalam
kehidupan primitif ummat manusia. Plato
sudah mengatakan bahwa manusia adalah jiwanya,
tubuhnya hanya sekedar alat saja. Aristoteles mengatakan bahwa jiwa adalah fungsi dari badan sebagaimana penglihatan
adalah fungsi dari mata. Hinga kini
sekurang-kurangnya ada empat mazhab psikologi, yakni (1)Psikoanalisa, (2) Behaviorisme, (3) Kognitif
dan (4) Humanisme. Empat mazhab itu
menggambarkan adanya dinamika pemahaman terhadap manusia yang sifatnya trial and error.
Freud dengan teori
psikoanalisanya memandang manusia sebagai homo
volens, yakni makhluk yang perilakunya dikendlikan oleh alam bawah sadarnya. Menurut teori ini, perilaku manusia
merupakan hasil interaksi dari tiga
pilar kepribadian; id, ego dan super ego, yakni
komponen biologis, psikologis dan social, atau komponen hewani, intelek dan moral.
Teori ini dibantah oleh
Behaviorisme yang memandang perilaku manusia
bukan dikendalikan oleh factor dalam (alam bawah sadar) tetapi sepenuhnya dipengaruhi oleh lingkungan yang
nampak,y ang terukur, dapat diramal dan
dapat dilukiskan. Menurut teori ini manusia disebut sebagai homo mechanicus, manusia mesin. Mesin
adalah benda yang bekerja tanpa ada
motiv di belakangnya, sepenuhnya ditentukan oleh factor obyektip (bahan baker, kondisi mesin
dsb). Manusia tidak dipersoalkan apakah
baik atau tidak, tetapi ia sangat plastis, bisa
dibentuk menjadi apa dan siapa sesuai dengan lingkungan yang dialami
atau yang dipersiapkan untuknya.
atau yang dipersiapkan untuknya.
Teori ini dibantah lagi
oleh teori Kognitif yang menyatakan bahwa
manusia tidak tunduk begitu saja kepada lingkungan, tetapi ia bisa aktif bereaksi secara aktif terhadap
lingkungan dengan cara berfikir. Manusia
berusaha memahami lingkungan yang dihadapi dan
merespond dengan fikiran yang dimiliki. Oleh karena itu menurut
teori Kognitif, manusia disebut sebagai
homo sapiens, makhluk yang berfikir.
Teori Kognitif
dilanjutkan oleh teori Humanisme. Psikologi Humanistik memandang manusia sebagai eksistensi yang
positip dan menentukan. Manusia adalah
makhluk yang unik, memiliki cinta, krestifitas, nilai dan makna serta pertumbuhan pribadi. Oleh
karena itu teori Humanisme menyebut
manusia sebagai homo ludens, yakni manusia yang mengerti makna kehidupan. Psikologi Humanistik sudah mulai
meraba-raba wilayah yang sumbernya dari
wahyu, yakni disamping membahas kecerdasan intelektual dan emosional, juga dibahas kecerdasan
spiritual.
Konsep Manusia dalam Al-Qur’an
Wacana tentang asal-usul
manusia, menjadi satu hal yang menarik untuk dikaji lebih dalam. Dua konsep
(konsep evolusi dan konsep Adam sang manusia pertama) menimbulkan perdebatan
yang tak habis-habis untuk dibahas. Di satu sisi konsep evolusi menawarkan satu gagasan bahwa manusia adalah wujud
sempurna dari evolusi makhluk di bumi ini. Sedangkan konsep yang kedua
mengatakan bahwa manusia adalah keturunan Adam dan Hawa. Dalam tulisan ini benar-salah kedua konsep itu tidak dibahas secara intens.
Tulisan ini akan lebih menakankan konsep manusia dalam al-Qur’an (konsep
kedua), dan sedikit memberi ruang penjelasan untuk konsep manusia melalui teori
evolusi, sekedar analisa perbandingan saja. Dari sini korelasi kedua konsep ini
akan sedikit sekali diperlihatkan.
Sedikit disinggung di
atas, bahwa adanya manusia menurut al-Qur’an adalah karena sepasang manusia
pertama yaitu Adam dan Hawa. Disebutkan bahwa, dua insan ini pada awalnya hidup
di Surga. Namun, karena melanggar perintah Allah maka mereka diturunkan ke
bumi. Setelah diturunkan ke bumi, sepasang manusia ini kemudian beranak-pinak
menjaga dan menjadi wakil-Nya di dunia baru itu. Tugas yang amat berat untuk menjadi penjaga bumi. Karena beratnya tugas yang
akan diemban manusia, maka Allah memberikan pengetahuan tentang segala sesuatu
pada manusia. Satu nilai lebih pada diri manusia, yaitu dianugerahi
pengetahuan. Manusia dengan segala kelebihannya kemudian ditetapkan menjadi
khalifah di bumi ini. Satu kebijakan Allah yang sempat ditentang oleh Iblis dan
dipertanyakan oleh para malaikat. Dan Allah berfirman: “….Hai Adam,
beritahukanlah kepada mereka nama-nama mereka…” (al-Baqarah ayat 33). Setelah
Adam menyebutkan nama-nama itu pada malaikat, akhirya Malaikatpun tahu bahwa
manusia pada hakikatnya mampu menjaga dunia.
Dari uraian ini dapat
dipahami bahwa manusia adalah makhluk paling sempurna yang diciptakan Allah
SWT. Dengan segala pengetahuan yang diberikan Allah manusia memperoleh
kedudukannya yang paling tinggi dibandingkan dengan makhluk lainnya. Inipun
dijelaskan dalam firman Allah SWT: “…..kemudian kami katakan kepada para
Malaikat: Bersujudlah kamu kepada Adam”; maka merekapun bersujud kecuali Iblis,
dia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”
(Q.S Al-Baqarah:34). Ini menunjukkan bahwa manusia memiliki keistimewaan
dibanding makhluk Allah yang lainnya, bahkan Malaikat sekalipun.
Menjadi menarik dari sini jika legitimasi kesempurnaan ini diterapkan pada
model manusia saat ini, atau manusia-manusia pada umumnya selain mereka para
Nabi dan orang-orang maksum. Para nabi dan orang-orang maksum menjadi
pengecualian karena sudah jelas dalam diri mereka terdapat kesempurnaan diri,
dan kebaikan diri selalu menyertai mereka. Lalu, kenapa pembahasan ini menjadi
menarik ketika ditarik dalam bahasan manusia pada umumnya. Pertama, manusia umumnya nampak lebih sering melanggar perintah Allah
dan senang sekali melakukan dosa.
Kedua, jika demikian maka
manusia semacam ini jauh di bawah standar Malaikat yang selalu beribadah dan
menjalankan perintah Allah SWT, padahal dijelaskan dalam al-Qur’an Malaikatpun
sujud pada manusia. Kemudian,
ketiga, bagaimanakah mempertanggungjawabkan firman Allah di atas, yang menyebutkan bahwa manusia adalah sebaik-baiknya makhluk Allah.
ketiga, bagaimanakah mempertanggungjawabkan firman Allah di atas, yang menyebutkan bahwa manusia adalah sebaik-baiknya makhluk Allah.
Tiga hal inilah yang menjadi inti pembahasan ini.
Dalam al-Qur’an
dijelaskan bahwa manusia memang memiliki kecenderungan untuk melanggar perintah
Allah, padahal Allah telah menjanjikannya kedudukan yang tinggi. Allah
berfirman: “Dan kalau Kami menghendaki sesungguhnya Kami tinggikan
(derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan
menurutkan hawa nafsunya yang rendah………….” (Q.S Al-A’raaf, ayat 176). Dari
ayat ini dapat dilihat bahwa sejak awal Allah menghendaki manusia untuk menjadi
hamba-Nya yang paling baik, tetapi karena sifat dasar alamiahnya, manusia
mengabaikan itu. Ini memperlihatkan bahwa pada diri manusia itu terdapat potensi-potensi
baik, namun karena potensi itu tidak didayagunakan maka manusia terjerebab
dalam lembah kenistaan, bahkan terkadang jatuh pada tingkatan di bawah hewan.
Satu hal yang tergambar
dari uraian di atas adalah untuk mewujudkan potensi-potensi itu, manusia harus
benar-benar menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dan tentu manusia
mampu untuk menjalani ini. Sesuai dengan firman-Nya: “Allah tidak akan
membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari
kebajikannya) dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya…….”
(Q.S Al-Baqarah : 286). Jelas sekali bahwa Allah tidak akan membebani hamba-Nya
dengan kadar yang tak dapat dilaksanakan oleh mereka. Kemudian, bila
perintah-perintah Allah itu tak dapat dikerjakan, hal itu karena kelalaian
manusia sendiri. “ Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam
keadaan kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh
dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” Mengenai kelalaian
manusia, melalui surat al-Ashr ini Allah selalu memperingatkan manusia untuk
tidak menyia-nyiakan waktunya hanya untuk kehidupan dunia mereka saja. Bahkan
Allah sampai bersumpah pada masa, untuk menekankan peringatan-Nya pada manusia.
Namun, lagi-lagi manusi cenderung lalai dan mengumbar hawa nafsunya.
Unsur-unsur dalam diri manusia
Membahas
sifat-sifat manusia tidaklah lengkap jika hanya menjelaskan bagaimana sifat
manusia itu, tanpa melihat gerangan apa di balik sifat-sifat itu. Murtadha Muthahari di
dalam bukunya Manusia dan Alam Semesta sedikit menyinggung hal ini. Menurutnya
fisik manusia terdiri dari unsur mineral, tumbuhan, dan hewan. Dan hal ini juga
dijelaskan di dalam firman Allah : Yang membuat segala sesuatu yang Dia
ciptakan sebaik-baiknya dan memulai penciptaan manusia dai tanah. Kemudian Dia
menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia
menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)Nya dan dia
menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati; (tapi) kamu sedikit
sekali bersyukur. (Q.S As-Sajdah ayat 7-9). Sejalan dengan Muthahari dan
ayat-ayat ini, maka manusia memiliki unsur paling lengkap dibanding dengan
makhluk Allah yang lain. Selain unsur mineral, tumbuhan, dan hewan (fisis),
ternyata manusia memiliki jiwa atau ruh. Kombinasi inilah yang menjadikan
manusia sebagai makhluk penuh potensial.
Jika unsur-unsur ditarik
garis lurus maka, ketika manusia didominasi oleh unsur fisisnya maka dapat
dikatakan bahwa ia semakin menjauhi kehakikiannya. Dan implikasinya, manusia
semakin menjauhi Allah SWT. Tipe manusia inilah yang dalam al-Qur’an di sebut
sebagai al-Basyar, manusia jasadiyyah. Dan demikianpun sebaliknya,
semakin manusia mengarahkan keinginannya agar sejalan dengan jiwanya, maka ia
akan memperoleh tingkatan semakin tinggi. Bahkan dikatakan oleh para sufi-sufi
besar, manusia sebenarnya mampu melampaui malaikat, bahkan mampu menyatu
kembali dengan sang Khalik. Manusia seperti inilah yang disebut sebagai
al-insaniyyah.
Luar biasanya manusia
jika ia mampu mengelola potensinya dengan baik. Di dalam dirinya ada
bagian-bagian yang tak dimiliki malaikat, hewan, tumbuhan, dan mineral—satu
persatu. Itu karena di dalam diri manusia unsur-unsur makhluk Allah yang lain
ada. Tidak salah bila dikatakan bahwa alam semesta ini makrokosmos dan manusia
adalah mikrokosmosnya.
Teori evolusi Darwin dan konsep manusia dalam al-Qur’an
Bila dilihat secara
kasar, maka jelas dua konsep ini akan saling bertolak belakang bahkan cenderung
saling mempersoalkan. Jika Darwin mengatakan bahwa manusia itu ada karena
evolusi makhluk hidup lainnya yang lebih rendah. Maka al-Qur’an dengan
jelas menyatakan bahwa manusia adalah keturunan Adam dan Hawa yang diusir
dari surga.
Tentu ini menjadi
perdebatan menarik hingga saat ini. Sebagian mengatakan bahwa Darwin yang
benar, teori Darwinlah yang masuk akal. Dan sebagian yang lain menjawabnya
dengan mengatakan bahwa “al-Qur’an-lah yang benar, karena ini titah Tuhan,
Tuhan Maha Besar dan Maha Kuasa, sehingga apa saja bisa dilakukan-Nya, tak terkecuali
menciptakan Adam dari tanah liat dan Siti Hawa dari tulang rusuk kiri Adam.
Sedangkan, teori evolusi gagal total ketika dibenturkan dengan kenyataan bahwa
saat inipun makhluk-makhluk purba (semisal komodo, buaya, kura-kura) masih
berkeliaran di muka bumi, bukankah jika merunut pada teori evolusi
makhluk-makhluk ini harusnya sudah punah?”
Yang mempertahankan teori
evolusi pun balik menyerang, “ jika Adam manusia pertama, kenapa kami menemukan
makhluk yang mirip manusia hidup kira-kira jauh sebelum adanya Adam. Bagaimana
ini dijelaskan?” Demikianlah seterusnya. Debat semacam ini tak henti-henti
dilakukan. Padahal keduanya sama-sama tak dapat menyimpulkan secara pasti kapan
manusia pertama itu ada, tetapi klaim kebenaran sudah menyebar ke mana-mana.
Kesimpulan
Manusia adalah manusia
dengan segala potensialitasnya. Ia dapat memilih hendak mendayagunakan
potensialitas itu dan kemudian menyempurnakan diri menjadi hamba Tuhan yang
sebenarnya. Atau mengabaikan potensialitas itu dengan menuruti hawa
nafsu dalam dirinya.
Allah
selalu mengingatkan hamba-Nya untuk selalu berbakti kepada-Nya. Dan sangatlah
merugi jika manusia mensia-siakan waktunya untuk tidak berbakti kepada Allah
SWT. Karena bagaimanapun fitrah manusia terletak di situ. “Dan ingatlah ketika
Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukakankah Aku
ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi’.
(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
‘Seungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhaadap ini
(keesaan Tuhan).’” (al-A’raf ayat 172. Manusia hidup dan mati pada
akhirnyapun akan menuju Allah SWT. Semua yang ada pada manusia tetap menjadi
milik Allah SWT, dan jika manusia melupakan ini maka, merugilah ia.
No comments:
Post a Comment