Salah satu
masalah pendidikan yang kita hadapi dewasa ini adalah rendahnya mutu pendidikan
pada setiap jenjang dan satuan pendidikan khususnya pendidikan dasar dan
menengah. Berbagai usaha telah dilakukan, antara lain memlalui berbagai
pelatihan dan peningkatan kualifikasi guru, penyediaan dan perbaikan
sarana/prasarana pendidikan, serta peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun
demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang
merata. Sebagaian sekolah, terutama di kota-kota, menunjukkan peningkatan mutu
yang cukup menggembirakan, namun Sebagian lainnya masih memprihatinkan. Dari
berbagai pengamatan dan analisis, sedikitnya ada tiga faktor yang menyebabkan
mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata.
Pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan
pendekatan educational production function yang tidak dilaksanakan secara
konsekuen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai
pusat produksi yang apabila dipilih semua input (masukan) yang diperlukan dalam
kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan menghasilkan output yang
dikehendaki. Dalam kenyataan, mutu pendidikan yang diharapkan tidak terjadi,
mengapa? Karena selama ini dalam menerapkan pendekatan education production
function terlalu memusatkan pada input pendidikan dan kurang memperhatikan
pada proses pendidikan. Padahal, proses pendidikan sangat menentukan output
pendidikan.
Kedua, penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik, sehingga
sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan
birokrasi, yang kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan
kondisi sekolah setempat. Dengan demikian sekolah kehilangan kemandirian,
motivasi, dan inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk
peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional.
Ketiga, peran serta masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam
penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim. Partisipasi masyarakat pada
umumnya selama ini lebih banyak bersifat dukungan dana, bukan pada proses
pendidikan (pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas).
Berkaitan dengan akunfabilitas, sekolah tidak mempunyai beban untuk
mempertanggungjawabkan hasil pelaksanaan pendidikan kepada masyarakat,
khususnya orang tua siswa, sebagai salah satu pihak utama yang berkepentingan
dengan pendidikan.
Berdasarkan
kenyataan-kenyataan tersebut, perlu dilakukan upaya-upaya perbaikan, salah
satunya yang sekarang sedang dikembangkan adalah reorientasi penyelenggaraan
pendidikan, melalui manajemen sekolah (School Based Management).
Konsep Dasar Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS)
1. Pengertian
Manajemen
berbasis sekolah atau School Based Management dapat didefinisikan dan
penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan
melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara
langsung dalam proses pengembilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutu
sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam pendidikan nasional.
2. Esensi Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS)
Esensi dari MBS
adalah otonomi dan pengambilan keputusan partisipasi untuk mencapai sasaran
mutu sekolah. Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan (kemandirian) yaitu
kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri. Jadi, otonomi sekolah
adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah
sesuai dengan dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang
berlaku. Kemandirian yang-dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan,
yaitu kemampuan untuk mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan
berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumber daya,
kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi dengan
cara yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan
adaftif dan antisipatif, kemampuan bersinergi danm berkaborasi, dan kemampuan
memenuhi kebutuhan sendiri.
Pengambilan
keputusan partisipatif adalah suatu cara untuk mengambil keputusan melalui
penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, di mana warga sekolah (guru,
karyawan, siswa,orang tua, tokoh masyarakat) dkjorong untuk terlibatsecara
langsung dalam proses pengambilankeputusan yang akan dapat berkontribusi
terhadap pencapaian tujuan sekolah.
Pengambilan
keputusan partisipasi berangkat dari asumsi bahwa jika seseorang dilibatkan
dalam proses pengambilan keputusan tersebut, sehingga yang bersangkutan akan
merasa memiliki keputusan tersebut, sehingga yang bersangkutan akan bertanggung
jawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah. Singkatnya
makin besar tingkat partisipasi, makin besar pula rasa memiliki, makin besar rasa
memiliki, makin besar pula rasa tanggung jawab, dan makin besar rasa tanggung
jawab makin besar pula dedikasinya.
Dengan pola
MBS, sekolah memiliki kewenangan (kemandirian) yang lebih besar dalam mengelola
manajemennya sendiri. Kemandirian tersebut di antaranya meliputi penetapan
sasaran peningkatan mutu, penyusunan rencana peningkatan mutu, pelaksanaan
rencana peningkatan mutu dan melakukan evaluasi peningkatan mutu. Di samping
itu, sekolah juga mmiliki kemandirian dalam menggali partisipasi kelompok yang
brekepentingan dengan sekolah. Di sinilah letak ciri khas MBS.
Berdasarkan
konsep dasar yang telah diuraikan di atas, maka perlu dilakukan penyesuaian din
dari pola lama manajemen pendidikan menuju pola baru manajemen pendidikan- masa
depan yang lebih bernuansa otonomi yang demokratis. Dimensi-dimensi perubahan pola manajemen dari yang
lama menuju yang baru tersebut, dewasa ini secara konseptual maupun praktik
tertera dalam MBS.
Perubahan dimensi pola manajemen pendidikan dari yang lama ke pola yang baru
menuju MBS’dapat digambarkan sebagai berikut.
Dimensi-dimensi perubahan pola manajemen pendidikan dari yang lama ke pola
yang baru menuju MBS dapat digambarkan sebagai berikut
Pola lama
|
Menuju
|
Pola baru
|
- Subordinasi
|
——>
|
- Otonomi
|
- Pengambilan keputusan terpusat
|
——>
|
- Pengambilan keputusan partisipasi
|
- Ruang gerak kaku
|
——>
|
- Ruang gerak luwes
|
- Pendekatan birokratik
|
——>
|
- Pendekatan Profesional
|
- Sentralistik
|
——>
|
- Desentralistik
|
- Diatur
|
——>
|
- Motivasi diri
|
- Overregulasi
|
——>
|
- Deregulasi
|
- Mengontrol
|
——>
|
- Mempengaruhi
|
- Mengarahkan
|
——>
|
- Memfasilitasi
|
- Menghindar Resiko
|
——>
|
- Mengelola resiko
|
- Gunakan uang semuanya
|
——>
|
- Gunakan yang seefisien mungkin
|
- Individu yang cerdas
|
——>
|
- Informasi terbagi
|
- Informasi terpribadi
|
——>
|
- Pemberdayaan
|
- Pendelegasian
|
——>
|
- Organisasi datar
|
- Organisasi herarkis
|
|
|
Mengacu pada
dimensi-dimensi tersebut di atas, sekolah memiliki wewenang lebih besar dalam
pengelolaan lembaganya. Pengambilan keputusan akan dilakukan secara
partisipatif dengan mengikutsertakan peran masyarakat sebesar-besarnya.
Selanjutnya,melalui
penerapan MBS akan nampak karakteristik lainnya dari profil sekolah mandiri, di
antaranya sebagai berikut :
1.
Pengelolaan sekolah akan lebih
desentaristik
2.
Perubahan sekolah akan lebih
didorong oleh motivasi internal dari pada diatur oleh luar sekolah.
3.
Regulasi pendidkan menjadi
lebih sederhana.
4.
Peranan para pengawas bergeser
dari mengontrol menjadi mempengaruhi.dari mengarahkan menjadi menfasilitasi dan
dari menghindari resiko menjadi mengelola resiko.
5.
Akan mengalami peningkatan
manajemen.
6.
Dalam bekerja, akan menggunakan
team work
7.
Pengelolaan informasi akan
lebih mengarah kesemua kelompok kepentingan sekolah
8.
Manajemen sekolah akan lebih
menggunakan pemberdayaan dan struktur organisasi akan lebih datar sehingga akan
lebih sederhana dan efisien.
Tujuan Manajemen Berbasis
Sekolah
Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah
melalui pemberian kewenangan, keluwesan, dan sumber daya untuk meningkatkan
mutu sekolah. Dengan kemandiriannya, maka:
1.
Sekolah sebagai lembaga
pendidikan lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi
dirinya dibanding dengan lembaga-lembaga lainnya.
2.
Dengan demikian sekolah dapat
mengoptimal kan sumber daya yang tersedia untuk memajukan lembaganya.
3.
Sekolah lebih mengetahui sumber
daya yang dimilikinya dan input pendidikan yang akan dikembangkan serta
didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan
kebutuhan peserta didik,
4.
Sekolah dapat bertanggung jawab
tentang mutu pendidikan masing-masing kepada pemerintah, orang tua peserta
didik, dan masyarakat pada, umumnya, sehingga sekolah akan berupaya semaksimal
mungkin untuk melaksanakan dan mencapai sasarn mutu pendidikan yang telah
direncanakan.
5.
Sekolah dapat melakukan
persaingan sehat dengan sekolah-sekolah yang lainnya untuk meningkatkan mutu
pendidikan melalui upaya-upaya inovatif dengan dukungan orang tua peserta
didik, masyarakat, dan pemerintah daerah setempat.
Dengan
demikian, secara bertahap akan terbentuk sekolah yang memiliki kemandirian
tinggi. Secara umum, sekolah yang mandiri memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Tingkat kemandirian tinggi
sehingga tingkat ketergantungan menjadi rendah
2.
Bersifat adaptif dan
antisipatif memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani
mengambil resiko)
3.
Bertanggung jawab terhadap
input manajemen dan sumber dayanya.
4.
Memiliki kontrol yang kuat
terhadap kondisi kerja.
5.
Komitmen yang tinggi pada
dirinya.
6.
Prestasi merupakan acuan bagi
penilaiannya.
Selanjutnya
dilihat dari sumber daya manusia sekolah yang mandiri memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
1.
Pekerjaan adalah miliknya
2.
Bertanggung jawab
3.
Memiliki kontribusi terhadap
pekerjaannya
4.
Mengetahui poisisi dirinya dan
memiliki kontrol terhadap pekerjaannya
5.
Pekerjaan merupakan bagian
hidupnya.
Dalam upaya
menuju sekolah mandiri, terlebih dahulu kita perlu menciptakan sekolah yang
efektif. Ciri sekolah yang efektif adalah sebagai berikut:
1.
Visi dan misi yang jelas dan
target mutu yang harus sesuai dengan standar yang telah ditetapkan secara
lokal.
2.
Sekolah memiliki output yang selalu
meningkat setiap tahun.
3.
Lingkungan sekolah aman,
tertib, dan menyenangkan bagi warga sekolah.
4.
Seluruh personil sekolah
memiliki visi, misi, dan harapan yang tinggi untuk berprestasi secara optimal.
5.
Sekolah memiliki sistem
evaluasi yang kontinyu dan komprehensif terhadap berbagai aspek akademik dan
non akademik.
Kesimpulan dan Saran
Sistem
manajemen pendidikan yang sentralistis telah terbukti tidak membawa kemajuan
yang berarti bagi peningkatan kualitas pendidikan pada umumnya. Bahkan dalam
kasus-kasus tertehtu, manajemen yang sentralistis telah menyebabkan terjadinya
pemandulan kreatifitas pada satuan pendidikan pada berbagai jenis dan jenjang
pendidikan. Untuk mengatasi terjadinya stagnasi di bidang pendidikan ini
diperlukan adanya paradigma baru dibidang pendidikan.
Seiring dengan
bergulirnya era dtonomi daerah, terbukalah peluang untuk melakukan reorientasi
paradigma pendidikan menuju ke arah desentralisasi pengelolaan pendidikan.
Peluang tersebut semakin tampak nyata setelah dikeluarkannya kebijakan mengenai
otonomi pendidikan melaJui strategi pemberlakuan manajemen berbasis sekolah
(MBS. MBS bukan sekedar mengubah penedekatan pengelolaan sekolah dari yang
sentralistis ke desentralistis, tetapi lebih dari itu melalui MBS diyakini akan
muncul kemandirian sekolah.
Melalui
penerapan MBS, kepedulian masyarakat untuk ikut serta mengontrol dan menjaga
kualitas layanan pendidikan akan lebih terbuka untuk dibangkitkan. Dengan
demikian kemandirian sekolah akan diikuti oleh daya kompetisi yang tinggi akan
akuntabilitas publik yang memadai. ^
Daftar Pustaka1. Depdiknas; Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Buku 1 dan 2; Jakarta; Depdiknas
2. Dadi Permadi; Artikel Pikiran Rakyat; tanggal 17 Pebruari 2001
No comments:
Post a Comment