Nuansa sertifikasi guru sebagai realisasi undang-undang guru dan
dosen mendorong para guru untuk meningkatkan profesionalismenya. Terlebih,
sesuai dengan Permen No.18 Tahun 2007, pada tahun awal ini sertifikasi guru
berbasis dokumen ( portofolio ).
Maka
berdayuh-dayuhlah para guru mencoba untuk memverifikasikan dan kemudian
mem-file-kan dokumen yang pernah dimiliki. Sangat pada tempatnya untuk para
guru yang memang pernah mendapatkannya, namun kemudian sungguh naïf bagi mereka
yang mencoba tidak jujur pada diri mereka. Mereka mencoba bertindak tidak
terpuji dengan berbuat tidak semestinya, seperti memalsukan dokumen, membuat
kegiatan fiktif, bahkan ada sebagian oknum yang memberikan iming-iming
sertifikat dengan imbalan tertentu. Oleh karena itu, semoga situasi ini
hanyalah kekhawatiran belaka dan tidak pernah ada.
Kembali ke judul
tulisan di atas. Sebenarnya di tengah lingkungan para guru, ada sebuah wahana
yang selama ini terlupakan, dan bahkan termajinalkan, yaitu MGMP (Musyawarah
Guru Mata Pelajaran). MGMP bergitu mengakar di dunia guru, khususnya SMP dan
SMA. Ia ada dari tingkat sekolah, wilayah, kota/kabupaten, dan bahkan provinsi.
Masalah utama dalam MGMP adalah support dana, kemampuan guru, dan support birokrasi
terkait.
Sopport dana
dirasakan sangat menjadi kendala karena disadari atau tidak, sebuah organisasi
sekecil apapun selalu memerlukan dana sebagai variable pendukung kegiatannya.
Memang, banyak pihak yang bisa diajak bicara untuk menopang keterlaksanaan
program MGMP (khusus di tingkat kota/kabupaten). Namun demikian, semua itu
masih dirasa tidak mencukupi, dan tidak meyakinkan para pelaksana kegiatan.
Solusi yang bijak adalah masuknya kegiatan ini dalam mata anggaran tertentu,
baik di sekolah, wilayah, kota/kabupaten, serta berfungsinya hak dan kewajiban
para anggota MGMP melalui support dana berupa iuran anggota.
Kemampuan guru
terkadang tidak mempuni untuk menanggulangi berbagai permasalahan yang
mengemuka. Banyak persoalan tidak tuntas, banyak upaya peningkatan
mutu/kualitas anggotanya yang tidak berhasil guna, banyak pula seabrek rencana
mulia yang tidak terlaksana. Permasalahan yang kerap kali mengemuka dalam
kegiatan MGMP baik sekolah, wilayah, kota/kabupaten menyangkut keperluan guru
dalam keseharian diantaranya guru model, alat evaluasi, media, dan alat
pembelajaran, serta penguasaan bahan ajar. Solusi permasalahan ini adalah
adanya link yang positif dengan institusi terkait. Masalahnya, maukah mereka
para akademi itu turun mendampingi kami yang ada di lapangan? Hingga saat ini,
saya masih meragukan mereka akan mau bergabung sepenanggungan dengan kami.
Sopport birokrasi
dimaksud adalah keterbukaan para birokrat untuk mau, dan mampu, serta mengakui
ekssistensi MGMP sebagai wahana penggemblengan kemampuan/ kompetensi guru-guru.
Terkadang, para insane MGMP merasa malu untuk berhadapan dengan para birokrat
karena kami ada dibenak mereka manakala meraka mempunyai kepentingan, baik
individu maupun kelompok. Bnyak MGMP dilibatkan dalam sebuah kegiatan, namun
keberadaannya hanya sekedar aksesori belaka. Solusi bijak adalah menjalin
komunikasi yang jujur dalam upaya memahami kepentingan masing-masing, yang
akhirnya akan menumbuhkan kepercayaan satu sama lain.
Mengapa MGMP boleh
dikatakan sebuah wahana untuk peningkatan kompetensi guru? Untuk menjawab
pertanyaan ini seyogyanya mengenali, memahami, dan menghayati program MGMP
tertentu. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa mobilitas sebuah organisasi sangat
tergantung pula pada mobilitas dan kreativitas para pengurusnya. Mereka harus
menciptakan kegiatan yang menyakinkan para guru sehingga mereka yakin bahwa
dengan aktif melakukan kegiatan MGMP, kompetensi mereka akan meningkat dan
terus meningkat.
Semoga MGMP di
lingkungan guru tidak menjadi barang asing yang menakutkan. Selamat ber-MGMP!!!
No comments:
Post a Comment